Sunday, April 16, 2017

Sejarah Gula Masuk Jawa

Sejarah Gula di Jawa

Tanaman tebu diperkirakan sudah sejak lama dibudidayakan di Jawa. Perantau China, I-Tsing, mencatat bahwa pada tahun 895 M, gula yang berasal dari tebu dan nira kelapa telah diperdagangkan di Nusantara. Sedangkan menurut catatan perjalanan Marcopolo, hingga abad ke-12 di Jawa belum berkembang industri gula seperti yang ada di China dan India. Kedatangan orang Eropa, terutama orang Belanda, pada abad 17 membawa perubahan pada perkembangan tanaman tebu dan industri gula di Jawa.

Pada pertengahan abad ke-17, industri gula didirikan di sekitar selatan Batavia, dan dikelola oleh
orang-orang China bersama para pejabat VOC. Pengolahan gula saat itu berjalan dengan proses yang sederhana. Dua buah silinder kayu yang diletakkan berhimpitan digunakan sebagai gilingan yang diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu dimasukkan di antara kedua silinder, kemudian nira yang keluar ditam-pung dalam bejana besar yang terdapat di bawah gilingan. Ekspor gula ke Eropa pun berlangsung pada saat itu, yang berasal dari 130 pengolahan gula (PG tradisional) di Jawa. Se-iring dengan perjalanan sejarah, jumlah PG di Jawa turun naik berfluktuasi.

Ketika India mulai melakukan ekspor gulake Eropa, industri gula Jawa mengalami persaingan ketat sehingga beberapa diantaranya tutup. Pada tahun 1745 di Jawa tersisa 65 PG, tahun 1750 bertambah menjadi 80 PG, kemudian akhir abad XVIII menyusut kembali menjadi 55 PG. Fluktuasi ini diduga berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan sekitar Batavia yang tidak lagi kondusif untuk budidaya tebu atau mungkin berkaitan dengan kesulitan permodalan.

Pada awal abad XIX, industri gula yang lebih modern yang dikelola orang-orang Eropa mulai bermunculan. PG modern pertama didirikan di daerah Pamanukan (Subang) dan Besuki (Jawa Timur). Akan tetapi, PG tersebut tidak bertahan lama dan meng-alami kebangkrutan yang diduga akibat masalah perburuhan dan ketersediaan lahan sawah untuk tebu yang terbatas. Di Pamanukan, investor gula harus membuka lahan-lahan sawah baru yang butuh modal besar karena lahan sawah yang sudah ada diprioritaskan untuk padi.

Kurun waktu berikutnya industri gula Jawa mulai menggeliat bangkit seiring dengan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh van den Bosch. Liberalisasi industri gula Jawa dipasung. Semua aktivitas ekonomi (perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1830 Bosch mengembangkan penanaman tebu di daerah pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur,yang dikelola secara profesional. Sebagian besar perusahaan keluarga diserahkan kepada para manajer profesional. Modal didukung oleh Javasche Bank, sedangkan manajemen inti dipegang orang-orang Eropa.

Usaha-usaha penetrasi pasar dilakukan pemerintah Belanda melalui regulasi impor gula dengan memberikan potongan 15 gulden untuk setiap pembayaran cukai sebanyak 100 gulden. Tenaga kerja hampir sepenuhnya tidak dibayar alias gratis karena unsure paksaan oleh para penguasa bumiputra yang berkolaborasi dengan para penjajah. Perubahan kebijakan ini berhasil baik, dimana 10 tahun kemudian gula dari Jawa mampu mendominasi pasar dunia.

Perkembangan berikutnya, beberapa PG mulai bermunculan di Jawa dengan dukungan pembangunan infrastruktur besar-besaran terutama dalam penyediaan sarana irigasi. Kebangkitan industri gula di Jawa pada masa itu sebenarnya terkait juga dengan perubahan teknologi.

Margarete Leidelmeijer dalam studi Doktornya di Universitas Teknologi Eindhoven, Belanda, tahun 1995 menulis disertasi tentang industri gula di Jawa berjudul Van suikermolen tot grootbedrift. Technische vernieuwing in de Javasuikerindustrie in de negentiende eeuw atau dalam terjemahan bebas kira-kira artinya “dari pengolahan gula sederhana ke pabrik-inovasi teknik pada industri gula Jawa abad sembilan belas” (No. 25 dalam seri NEHA 111, Dutch Guilders).

Menurut Leidelmeijer, sejak Cultuurstelsel diberlakukan teknologi industri gula Jawa sebagian mengadopsi teknologi pengolahan gula bit di Eropa, salah satunya dengan menggunakan pan masak vacuum. Selain itu, dukungan para insinyur dan peneliti di Belanda yang difasilitasi kantor Kementerian Pemerintahan Kolonial ikut terlibat dalam pengembangan industri gula Jawa.


Kontak antara para pelaku industri gula di Jawa dan Eropa saat itu cukup intensif. Mereka saling bertukar informasi tentang teknologi processing gula tebu dan gula bit. Industri gula Jawa pada akhirnya berkembang cukup pesat dan bahkan menjadi acuan bagi industri gula tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi prosesing gula tebu yang dimulai abad XIX tersebut, kemudian disempurnakan dengan berbagai inovasi teknologi di abad XX hingga saat ini masih bertahan dan dipakai oleh sebagian besar PG di Jawa.

No comments:

Post a Comment