Sejarah Gula di Jawa
Tanaman
tebu diperkirakan sudah sejak lama dibudidayakan di Jawa. Perantau China,
I-Tsing, mencatat bahwa pada tahun 895 M, gula yang berasal dari tebu dan nira
kelapa telah diperdagangkan di Nusantara. Sedangkan menurut catatan perjalanan
Marcopolo, hingga abad ke-12 di Jawa belum berkembang industri gula seperti
yang ada di China dan India. Kedatangan orang Eropa, terutama orang Belanda, pada
abad 17 membawa perubahan pada perkembangan tanaman tebu dan industri gula di
Jawa.
Pada
pertengahan abad ke-17, industri gula didirikan di sekitar selatan Batavia, dan
dikelola oleh
orang-orang
China bersama para pejabat VOC. Pengolahan gula saat itu berjalan dengan proses
yang sederhana. Dua buah silinder kayu yang diletakkan berhimpitan digunakan
sebagai gilingan yang diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu
dimasukkan di antara kedua silinder, kemudian nira yang keluar ditam-pung dalam
bejana besar yang terdapat di bawah gilingan. Ekspor gula ke Eropa pun
berlangsung pada saat itu, yang berasal dari 130 pengolahan gula (PG tradisional)
di Jawa. Se-iring dengan perjalanan sejarah, jumlah PG di Jawa turun naik
berfluktuasi.
Ketika
India mulai melakukan ekspor gulake Eropa, industri gula Jawa mengalami
persaingan ketat sehingga beberapa diantaranya tutup. Pada tahun 1745 di Jawa
tersisa 65 PG, tahun 1750 bertambah menjadi 80 PG, kemudian akhir abad XVIII
menyusut kembali menjadi 55 PG. Fluktuasi ini diduga berkaitan dengan perubahan
kondisi lingkungan sekitar Batavia yang tidak lagi kondusif untuk budidaya tebu
atau mungkin berkaitan dengan kesulitan permodalan.
Pada
awal abad XIX, industri gula yang lebih modern yang dikelola orang-orang Eropa
mulai bermunculan. PG modern pertama didirikan di daerah Pamanukan (Subang) dan
Besuki (Jawa Timur). Akan tetapi, PG tersebut tidak bertahan lama dan
meng-alami kebangkrutan yang diduga akibat masalah perburuhan dan ketersediaan
lahan sawah untuk tebu yang terbatas. Di Pamanukan, investor gula harus membuka
lahan-lahan sawah baru yang butuh modal besar karena lahan sawah yang sudah ada
diprioritaskan untuk padi.
Kurun
waktu berikutnya industri gula Jawa mulai menggeliat bangkit seiring dengan diberlakukannya
Cultuurstelsel oleh van den Bosch. Liberalisasi industri gula Jawa dipasung.
Semua aktivitas ekonomi (perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai
sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada
tahun 1830 Bosch mengembangkan penanaman tebu di daerah pantura Jawa Tengah dan
Jawa Timur,yang dikelola secara profesional. Sebagian besar perusahaan keluarga
diserahkan kepada para manajer profesional. Modal didukung oleh Javasche Bank,
sedangkan manajemen inti dipegang orang-orang Eropa.
Usaha-usaha
penetrasi pasar dilakukan pemerintah Belanda melalui regulasi impor gula dengan
memberikan potongan 15 gulden untuk setiap pembayaran cukai sebanyak 100
gulden. Tenaga kerja hampir sepenuhnya tidak dibayar alias gratis karena unsure
paksaan oleh para penguasa bumiputra yang berkolaborasi dengan para penjajah.
Perubahan kebijakan ini berhasil baik, dimana 10 tahun kemudian gula dari Jawa
mampu mendominasi pasar dunia.
Perkembangan
berikutnya, beberapa PG mulai bermunculan di Jawa dengan dukungan pembangunan
infrastruktur besar-besaran terutama dalam penyediaan sarana irigasi. Kebangkitan
industri gula di Jawa pada masa itu sebenarnya terkait juga dengan perubahan teknologi.
Margarete
Leidelmeijer dalam studi Doktornya di Universitas Teknologi Eindhoven, Belanda,
tahun 1995 menulis disertasi tentang industri gula di Jawa berjudul Van
suikermolen tot grootbedrift. Technische vernieuwing in de Javasuikerindustrie
in de negentiende eeuw atau dalam terjemahan bebas kira-kira artinya “dari
pengolahan gula sederhana ke pabrik-inovasi teknik pada industri gula Jawa abad
sembilan belas” (No. 25 dalam seri NEHA 111, Dutch Guilders).
Menurut
Leidelmeijer, sejak Cultuurstelsel diberlakukan teknologi industri gula Jawa
sebagian mengadopsi teknologi pengolahan gula bit di Eropa, salah satunya
dengan menggunakan pan masak vacuum. Selain itu, dukungan para insinyur dan
peneliti di Belanda yang difasilitasi kantor Kementerian Pemerintahan Kolonial
ikut terlibat dalam pengembangan industri gula Jawa.
Kontak
antara para pelaku industri gula di Jawa dan Eropa saat itu cukup intensif.
Mereka saling bertukar informasi tentang teknologi processing gula tebu dan
gula bit. Industri gula Jawa pada akhirnya berkembang cukup pesat dan bahkan
menjadi acuan bagi industri gula tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi prosesing
gula tebu yang dimulai abad XIX tersebut, kemudian disempurnakan dengan
berbagai inovasi teknologi di abad XX hingga saat ini masih bertahan dan dipakai
oleh sebagian besar PG di Jawa.
No comments:
Post a Comment